A. Sejarah Anime
Anime adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan film animasi
atau kartun Jepang. Kata tersebut berasal dari kata animation yang dalam
pelafalan bahasa Jepang menjadi animeshon. Kata tersebut kemudian
disingkat menjadi anime. Meskipun pada dasarnya anime tidak dimaksudkan
khusus untuk animasi Jepang, tetapi kebanyakan orang menggunakan kata
tersebut untuk membedakan antara film animasi buatan Jepang dan
non-Jepang.
Sejarah karya animasi di Jepang diawali dengan dilakukannya First
Experiments in Animation oleh Shimokawa Bokoten, Koichi Junichi, dan
Kitayama Seitaro pada tahun 1913. Kemudian diikuti film pendek (hanya
berdurasi sekitar 5 menit) karya Oten Shimokawa yang berjudul Imokawa
Mukuzo Genkanban no Maki tahun 1917. Pada saat itu Oten membutuhkan
waktu 6 bulan hanya untuk mengerjakan animasi sepanjang 5 menit tersebut
dan masih berupa “film bisu”. Karya Oten itu kemudian disusul dengan
anime berjudul Saru Kani Kassen dan Momotaro hasil karya Seitaro
Kitayama pada tahun 1918, yang dibuat untuk pihak movie company Nihon
Katsudo Shashin (Nikatsu). Pada tahun 1918 Seitaro kembali membuat anime
dengan judul Taro no Banpei. Tetapi semua catatan tentang anime
tersebut dikatakan hilang akibat gempa bumi di Tokyo pada tahun 1923.
Selain Oten dan Seitaro, ada juga beberapa animator lain seperti,
Junichi Kouichi (Hanahekonai Meitou no Maki, 1917), Sanae Yamamoto
(Obasuteyama, 1924), Noburo Ofuji (Saiyuki, 1926 dan Urashima Taro,
1928), Yasushi Murata (Dobutsu Olympic Taikai, 1928). Pada saat itu,
muncul pula anime pertama yang mempunyai sekuel yaitu Sarugashima (1930)
dan kelanjutannya yaitu Kaizoku-bune (1931).
Pada tahun 1927, Amerika Serikat telah berhasil membuat animasi dengan
menggunakan suara (pada saat itu hanya menggunakan background music).
Jepang kemudian mengikuti langkah itu dan anime pertama dengan
menggunakan suara musik adalah Kujira (1927) karya Noburo Ofuji.
Sedangkan anime pertama yang “berbicara” adalah karya Ofuji yang
berjudul Kuro Nyago(1930) dan berdurasi 90 detik. Salah satu anime yang
tercatat sebelum meletus Perang Dunia II dan merupakan anime pertama
dengan menggunakan optic track (seperti yang digunakan pada masa
sekarang) adalah Chikara To Onna No Yononaka (1932) karya Kenzo Masaoka.
Pada tahun 1943 Masaoka bersama dengan seorang muridnya, Senoo Kosei,
mereka membuat kurang lebih lima episode anime berjudul Momotaro no
Umiwashi (Momotaro, the Sea Eagle). Anime yang ditayangkan ini merupakan
anime Jepang pertama dengan durasi lebih dari 30 menit (short animated
feature film).
Mendekati akhir dari Perang Pasifik, yaitu pada bulan April 1945,
Senoo telah membuat dan menampilkan kurang lebih sembilan episode anime
yang merupakan karya besarnya, Momotaro: Umi no Shinpei (Momotaro:
Devine Soldier of the Sea). Anime ini merupakan anime Jepang pertama
yang berdurasi panjang, yaitu sekitar 72 menit (animated feature film).
Keduanya adalah anime propaganda yang mengadaptasi dari cerita legenda
terkenal Jepang, Momotaro, dan merupakan salah satu dari anime
terpopuler pada masa tersebut.
Noburo Ofuji juga pernah mencoba membuat anime yang berwarna. Pada saat
itu ia membuat anime Ogon no Hana (1930) dengan hanya 2 warna, tetapi
tidak pernah dirilis. Anime pertama yang dirilis dengan warna baru
muncul lama setelah itu yaitu Boku no Yakyu (1948) karya Megumi Asano.
Setelah Perang Dunia II, industri anime dan manga bangkit kembali
berkat Osamu Tezuka. Orang yang dijuluki “God of Manga” ini pada saat
itu baru berusia sekitar 20 tahun dan karyanya adalah Shintakarajima
yang muncul pada tahun 1947. Hanya dalam beberapa tahun saja, Tezuka
kemudian menjadi sangat terkenal.
Ketika habis masa kontraknya dengan Toei pada tahun 1962, Tezuka
kemudian mendirikan Osamu Tezuka Production Animation Departement, yang
kemudian disebut dengan Mushi Productions dengan produksi pertamanya
film pendek berjudul Aru Machi Kado no Monogatari (1962). Produk Mushi
Production yang terkenal adalah Tetsuwan Atom. Namun Tetsuwan Atom
bukanlah animasi televisi buatan lokal pertama yang ditayangkan. Tahun
1960 adalah pertama kalinya ditayangkan anime TV di Jepang, yaitu Mittsu
no Hanashi (Tree Tales) – The Third Blood yang merupakan anime TV
Special.
Dilanjutkan dengan penayangan serial anime TV produksi Otogi-Pro
berjudul Instant Story pada tanggal 1 Mei 1961 di stasiun televisi Fuji
(Fuji
Terebi). Walaupun hanya berdurasi 3 menit serial ini cukup mendapat
popularitas serta bertahan hingga tahun 1962. Penayangan anime tersebut
merupakan merupakan tanda bagi kelahiran anime TV Series produksi Jepang
yang pertama. Meski demikian, Tetsuwan Atom adalah anime pertama yang
ditayangkan secara reguler. Acara ini sangat terkenal bahkan sampai ke
beberapa negara di luar Jepang (di Amerika Tetsuwan Atom dikenal sebagai
Astro Boy).
B. Protes Anime
Seperti yang kita ketahui, akhir-akhir ini di Indonesia sedang terjadi booming
film-film kartun Jepang (anime) dan film-film superhero Jepang
(tokusatsu). Hal ini bisa dibuktikan dengan mudahnya seseorang untuk
bisa mendapatkan CD anime dan tokusatsu di Indonesia. Bahkan ada
beberapa judul anime dan tokusatsu yang bisa didapatkan dengan mudah di
tempat-tempat penjualan CD grosiran seperti Glodok dengan harga per
keping CD-nya hanya Rp 4.000 – Rp 5000,-. Berbagai CD seperti Crayon
Shinchan, Kamen Rider, Kuuga, dan judul-judul lainnya bisa didapatkan
dengan mudah. Booming film kartun dan film superhero Jepang ini tentunya
mengingatkan kita pada tahun 1980 -an di mana juga terjadi booming film
kartun dan film superhero Jepang. Pada waktu itu, nyaris semua anak di
Indonesia tahu tentang film kartun Voltes V dan film superhero Goggle V
yang memang sempat menjadi fenomena di akhir tahun 1980-an dan awal
tahun 1990-an.
Orang-orang sekarang menganggap bahwa film-film kartun buatan Jepang
itu tidak mendidik dan justru bersifat merusak. Kenapa pendapat seperti
itu tidak muncul waktu tahun 1980-an ketika booming anime juga sempat
terjadi? Kalau orang-orang punya pendapat anime tidak mendidik, itu
mungkin karena generalisasi yang timbul akibat film-film kartun seperti
Crayon Shinchan.
Kita semua tahu bahwa Shinchan telah menjadi fenomena sejak kali
pertama hadir di Indonesia. Kehadiran seorang anak kecil berusia lima
tahun yang masih duduk di bangku TK namun mempunyai sifat layaknya
seorang pria dewasa itu benar-benar membawa perubahan di Indonesia.
Sifatnya yang kurang ajar menurut para orang tua ternyata disukai oleh
anak-anak dan remaja-remaja.
Tetapi apakah kita bisa memberikan penilaian yang sama terhadap
seluruh film kartun Jepang yang masuk ke Indonesia? Tidak karena tidak
semua film kartun itu tidak mendidik. Ada beberapa kartun yang justru
memberikan pendidikan kepada anak-anak meskipun mungkin agak tersamar.
Doraemon, misalnya. Karakter-karakter di dalam Doraemon tidaklah
sempurna seperti Nobita yang cengeng, Giant yang kasar dan suka
berkelahi, Suneo yang suka menyombong dan Doraemon yang kadang-kadang
terlalu baik hati.
Karakter-karakter itu dibuat sesuai dengan sifat-sifat manusia pada
umumnya dan sifat-sifat orang Jepang khususnya. Sifat-sifat yang
dimiliki oleh karakter-karakter yang terdapat dalam Doraemon itu
benar-benar universal sehingga aman untuk dinikmati oleh anak-anak di
Indonesia. Ada saja orang yang punya sifat seperti itu di mana saja di
dunia ini.
Memang ada beberapa judul anime yang sadis yang hanya cocok ditonton
oleh anak-anak 15 tahun ke atas, bahkan 17 tahun ke atas. Tetapi hal
seperti itu tentunya juga tidak bisa dijadikan patokan untuk melakukan
generalisasi bahwa kartun Jepang itu tidak mendidik. Apakah kita bisa
membuat sebuah generalisasi hanya berdasarkan beberapa judul anime saja?
Tentu saja tidak.
Mungkin banyak orang yang berpendapat bahwa film kartun Amerika lebih
baik dari pada anime, khususnya para orang tua, tetapi kita tidak bisa
langsung menyatakan bahwa film kartun Amerika itu lebih bagus daripada
film kartun Jepang tanpa pertimbangan yang berarti. Apakah Anda pernah
menyaksikan film kartun Amerika dan Erope seperti Tom and Jerry dan
Avatar The Legend of Aang? Apakah Anda pernah memikirkan bahwa banyak
sekali adegan yang tidak masuk akal di dalam film itu?
Ada adegan Tom yang mencoba untuk terbang seperti burung dengan
menggunakan sayap buatan. Bukankah adegan semacam itu bisa saja
ditangkap oleh anak-anak yang polos yang kemudian ingin mencoba
melakukannya? Anak-anak akan berpendapat bahwa mereka juga bisa terbang
seandainya mereka bisa membuat sayap seperti yang dibuat Tom. Apakah
menurut Anda hal itu tidak membahayakan? Meskipun sudah menonton
didampingi orang tua, bisa saja anak-anak mencoba melakukannya di saat
mereka kebetulan lepas dari pengawasan orang tua. Semua hal bisa saja
terjadi, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun.
Kita tidak boleh memvonis sesuatu terlalu cepat. Kita tentunya tidak
bisa membandingkan film kartun Amerika dengan anime karena keduanya
memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Anime lebih didasari oleh
budaya Timur (dan hal itu tampak dalam beberapa judul anime) dan film
kartun Amerika lebih didasari oleh budaya Barat (seperti kekerasan dan
sebagainya ). Keduanya tentunya tidak sejalan.
Baik buruknya sesuatu itu relatif. Mungkin saja Anda berpendapat
bahwa anime itu tidak mendidik dan sadis, tapi di lain pihak ada orang
lain yang berpendapat bahwa anime itu justru lebih mendidik karena
kerealistisannya. Semua itu kembali kepada diri kita sendiri sebagai
seorang penonton. Tidak bisa dipungkiri bahwa anime memiliki sisi-sisi
negatif namun kita bisa mencoba untuk melihat sisi-sisi positif yang ada
di dalamnya.
C. Jepang Menggeser Amerika
Kreatifitas adalah satu hal yang mudah diucapkan namun relatif rumit
untuk dibentuk atau dibangun. Apalagi slogan “Dengan Kesenian Kita
Tingkatkan Kreatifitas Remaja” misalnya, adalah slogan yang benar-benar
memerlukan kesungguhan untuk mewujudkannya. Kesungguhan yang dimaksud
adalah keseriusan dalam pemikiran, serta daya dan upaya yang kuat
tentunya, sehingga kalimat romantis atau heroik saja, belum cukup untuk
mewujudkan cita-cita itu.
Membangun kreatifitas masyarakat melalui kesenian, tidak cukup dengan
talenta saja, jadi harus ada mekanisme manajerial di dalamnya. Secara
praktis kita lihat Jepang pada saat ini, mereka telah mampu mengeser
kedudukan Hollywood (Amerika dan Eropa) untuk film kartun, animasi,
komik dan buku bacaan. Setelah sekian lama buku bacaan, komik serta film
kartun dan animasi Amerika dan Eropa merajai pasaran dunia.
Pada tahun 80-an hampir seluruh anak-anak dan remaja di dunia tentu
mengenal sosok Tintin detectif cerdik dengan anjing kecilnya yang lucu,
mereka tentunya juga mengenal sosok Micky & Mouse yang lucu dan
menggelikan. Dimulai dengan Film Animasi The Lion King, kemudian
dilanjudkan dengan Petualangan Mulan yang gagah berani, nilai-nilai Asia
mulai merambah Hollywood. Untuk diketahui ternyata The Lion King adalah
cerita khayalan dari kartunis Jepang yang kemudian dikembangkan oleh
industri film Hollywood.
Pada era 70-an, anak-anak dan remaja di dunia mengenal sosok Tarzan
atau si Kaki Besar Geronimo dari suku Apache dalam cerita fiksi karya
Karl May.
Sekarang ini tidak banyak lagi anak-anak atau remaja yang menyimak
Micky & Mouse dan sejenisnya. Yang terlihat dengan jelas, komik,
film kartun dan animasi telah dikuasai oleh produk Jepang. Hanya
beberapa komik atau bacaan barat yang masih diminati oleh remaja dan
anak di Indonesia seperti Harry Potter dan Lord Of The Ring . Artinya
terjadi arus perubahan berpikir dari Barat ke Asia (Jepang).
Komik dan buku bacaan, film kartun atau animasi, memang salah satu
bentuk dari produk berkesenian, hal ini tentunya adalah kenyataan yang
tidak terbantahkan. Namun efek lain yang juga harus dicermati pada era
informasi seperti sekarang ini, negara yang menguasai arus informasi
pada sektor komik, buku bacaan, film kartun dan animasi tentu memiliki
sisi keunggulan tersendiri dalam persaingan lainnya.
Apakah keberhasilan Jepang merebut kiblat itu hanya berdasar
talenta atau bakat dari komikus, kartunis atau animator semata? Lalu
apakah pencapaian itu dapat diraih dalam waktu yang singkat? Jika kita
mencoba telusuri apa yang telah diraih oleh Jepang, adalah buah dari
usaha yang sungguh-sungguh dalam waktu yang relatif panjang.
Pada tahun 80-an dalam sebuah kolom laporan perjalanan seorang
kartunis Indonesia, merasa terheran-heran ketika mereka diundang ke
Jepang. Mereka diundang dalam suatu acara berkaitan dengan profesi
mereka sebagai kartunis. Ternyata masyarakat Jepang mengelu-elukan
kartunis yang hadir dalam acara itu. Artinya ketika itu masyarakat
Jepang telah sampai pada titik dimana profesi sebagai kartunis demikian
mereka hormati, sehingga membentuk sikap masyarakat yang menghargai
profesi kartunis. Pendek kata keberhasilan Jepang pada saat ini
merupakan hasil dari keseriusan mereka membina sistem dan mekanisme
kesenian, yang diimbuhi oleh kebanggaan terhadap karya bangsa sendiri.
D. Komik Matahari Terbit dan Duduk Perkaranya
Sebelum menukik ke pokok masalah, diingatkan kembali bahwa komik dan
kartun Jepang itu beragam spesifikasinya. Berdasarkan pangsa pasarnya,
ada shounen, yakni anime atau manga bergenre
(gaya: meliputi gambar, bahasa, penokohan) serta beralur cerita yang
disesuaikan dengan selera cowok. Contohnya, Yuyu Hakusho karya Yoshihiro
Togashi, Naruto karya Masashi Kishimoto, Tsubasa Reservoir Chronicle
karya CLAMP, Air Gear karya Oh! Great, Dragon Ball karya Akira Toriyama,
I’LL karya Hiroyuki Asada. Ada pula shoujou, yang genre dan
alur ceritanya disesuaikan dengan selera cewek, seperti Fruits Basket
karya Natsuki Takaya, Penguin Revolution karya Sakura Tsukuba,
Unrequited Venus karya Yuki Nakaji dan Heaven!! karya Shizuru Seino.
Klasifikasi lainnya, shoujou-shounen yang merupakan perpaduan kedua jenis anime dan kartun. Contoh, genrenya bisa saja shounen, tapi alur ceritanya shoujou,
atau sebaliknya. Jadi, penikmatnya tak terbatas pada cewek atau cowok.
Masuk kategori ini, misalnya, komik dan animasi Rurouni Kenshin,
Evangelion, atau PatLabor.
Standar peruntukan
Anime dan manga juga dibedakan menurut tema. Mulai mecha (robot), fighting (pertarungan), adventure (petualangan), romance (percintaan), sampai dengan hentai
(seks). Meski begitu dalam praktiknya, pada beberapa karya klasifikasi
berdasarkan tema ini kerap tidak berlaku karena tumpang tindihnya unsur
dan ide.
Misalnya, meski ide aslinya mecha, tapi mengandung juga unsur romance, adventure bahkan hentai.
Berbagai klasifikasi tadi masih ditambah dengan batasan umur, yang bisa
dilihat di awal pemutaran film. Bill in Love, contohnya, digolongkan
untuk tontonan 21 tahun ke atas (biasa ditulis 21+), City Hunter (18+),
Evangelion (13+), PatLabor (9+) hingga Crayon Sinchan (everyone).
Lazimnya, ketiga klasifikasi itu ada dalam setiap anime sehingga tercipta perpotongan klasifikasi satu dengan lainnya. Misal, PatLabor adalah film kartun bersifat shoujou-shounen, bertema mecha, dan dikategorikan untuk umur 9+. Sedangkan Bill in Love bersifat shounen, bertema hentai, dan dikategorikan untuk 21+.
Melihat kejelasan fakta tadi, mestinya penayangan animasi Jepang
tertentu di televisi perlu mempertimbangkan beberapa hal. Langkah yang
seharusnya dilakukan adalah menentukan jam tayang yang pas dan
menampilkan sasaran peruntukan sebelum memutar film itu. Bila dirasa
masih kurang sesuai dengan keadaan masyarakat kita, standar sasaran usia
penontonnya bisa dinaikkan. Crayon Sinchan misalnya, golongan umurnya
bisa ditingkatkan menjadi 15+.
Di sisi lain, batasan yang jelas juga harus dibuat untuk menerangkan
siapa masuk kategori anak-anak. Apakah mereka adalah semua yang masih
bergantung pada orang tua, ataukah ada batasan umur tertentu. Misalnya,
umur anak-anak diklasifikasikan 6 – 13 tahun, sedangkan remaja 14 – 17
tahun. Nah, batasan inilah yang dikaitkan dengan keterangan peruntukan
komik dan film kartun buatan Jepang itu. Akan tampak aneh jika anak usia
enam tahun menonton Evangelion atau seri Gundam.
Kalau tontonan sudah sesuai dengan umur, tetapi si anak masih tidak
memahami isi animasi, boleh jadi lantaran alur ceritanya yang berat dan
berbobot (PatLabor, X-Clamp). Tak jarang ada juga orang tua yang tidak
bisa dengan mudah menangkap alur ceritanya. Itu antara lain karena
sebagian besar film kartun Jepang memang memasukkan unsur budaya yang
jarang ditemui di Indonesia, seperti mandi bersama, ritual mengusir
setan di kuil, atau melihat bunga sakura.
Ada sinyalemen, anime dan manga Jepang menjadi populer konon lantaran film dan merchandise
alias barang-barang suvenirnya lebih dulu masuk. Namun dari amatan,
justru komik yang mula-mula merebut hati para penggemar, baru kemudian
versi filmnya. Fenomena ini kemudian ditangkap dunia bisnis untuk ikut
memasarkan merchandise.
Jadi, suksesnya film kartun dan juga komik Jepang memang murni karena
disukai pembaca dan penontonnya. Hal ini berkebalikan dengan pembuat
film seperti Walt Disney yang selalu mengawali langkahnya dengan iklan
bombastis, cerita sekuel, penjualan pernak-pernik, baru kemudian
menerbitkan komik. Contohnya, Aladin, Lion King, Mulan, Little Mermaid,
Pinnochio, dan masih banyak lagi.
Teknik gambar komik dan animasi Jepang pun amat bervariasi. Salah satu alirannya, gambar Sinchan yang meletat-meletot. Konon, itu memang sengaja dibuat untuk menunjukkan bahwa penyampaian pesan tak perlu menggunakan gambar yang rumit.
Teknik itu tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan komik Barat,
misalnya Walt Disney. Soalnya, keduanya merupakan dua jenis komik dan
animasi yang berbeda peruntukan dan tujuan pembuatannya. Mulai kelas,
ilustrasi, hingga alur cerita. Walt Disney mengutamakan keindahan,
sedangkan Crayon lebih menonjolkan kekonyolan gambar.
Tokoh komik dan animasi Jepang sebagian besar manusia, minimal
mendekati wujud manusia. Kobo Chan misalnya, sarat dengan unsur
pendidikan, karena secara detail dan sederhana menampilkan kehidupan
keseharian sebuah keluarga. Dari tema itu, muncul kisah yang logis,
masuk akal. Secara imajinasi mudah dibayangkan, dan mungkin terjadi
dalam keseharian.
Film kartun Jepang memang menampilkan kewajaran, seperti Saint Seiya.
Memang tokoh utamanya digambarkan bisa berdarah-darah setelah dipukul
lawannya. Atau juga Gundam Wings, Gundam Seed Destiny dan Macross yang
banyak mempertontonkan kematian, sesuatu yang masuk akal.
Komik dan film kartun Jepang juga sering dituduh mengumbar adegan
kekerasan. Padahal, banyak juga film Eropa atau Amerika seperti Woody
Woodpecker, Animaniacs, Looney Tunes, Tiny Tunes, Tazmania, dan
lain-lain yang sering menampilkan adegan sadis seperti memotong,
menusuk, menginjak-injak, mencaci musuh, dan sebagainya, yang juga
mengundang perilaku kekerasan.
Dalam anime Jepang, pembaca atau penonton sering menemukan
idola yang tidak mereka dapati dalam kenyataan. Mereka juga bisa melihat
ketidakadilan, kepengecutan tokoh utama, kesetiaan terhadap ideologi,
bahkan sampai sisi baik tokoh yang jahat. Mereka juga belajar bahwa
hidup ini penuh intrik dan perbedaan.
Kelebihan lain ditampilkan PatLabor. Film ini menampilkan salah satu
kualitas film Jepang yang ceritanya semi-realistis, yang mengisahkan
kemajuan teknologi robot. Walaupun cerita ini hanya khayalan si
pengarang, namun mampu mendorong lahirnya kreativitas anak akan masa
depan. Imajinasi di sini mengarah pada kemungkinan yang terjadi di masa
depan, bukan imajinasi yang kekanak-kanakan.
Sesungguhnya, cukup banyak manfaat film kartun dan komik buatan
Jepang. Meskipun adanya sejumlah film kartun yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat kita, tentu tidak terbantah.
Salah satu jalan untuk mengatasinya adalah membuka dialog orang tua –
anak tentang sebuah film kartun dan komik buatan mana pun. Semakin
banyak argumen dan detail yang dikemukakan sang anak, semakin
menunjukkan kedewasaan berpikirnya. Jangan biarkan anak-anak terus
menjadi anak-anak, tapi persiapkanlah kedewasaan mereka dalam menghadapi
kenyataan.
Ada baiknya jika kita tidak hanya memandang sisi buruk manga dan anime, karena tidak semua judul manga dan anime mengandung kekerasan. Bahkan, beberapa diantaranya berisi pendidikan (pengetahuan umum) walau hanya samar.
Manga dan anime sudah dikelompokkan berdasarkan
beberapa klasifikasi. Jika semua pecinta komik dan film kartun Jepang di
Indonesia menikmatinya berdasarkan klasifikasi yang telah ditentukan,
maka kemungkinan terburuk dari pengaruh manga dan anime tidak akan terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar