Kamis, 12 April 2012

SEJARAH KARTUN JEPANG

A. Sejarah Anime
Anime adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan film animasi atau kartun Jepang. Kata tersebut berasal dari kata animation yang dalam pelafalan bahasa Jepang menjadi animeshon. Kata tersebut kemudian disingkat menjadi anime. Meskipun pada dasarnya anime tidak dimaksudkan khusus untuk animasi Jepang, tetapi kebanyakan orang menggunakan kata tersebut untuk membedakan antara film animasi buatan Jepang dan non-Jepang.

Sejarah karya animasi di Jepang diawali dengan dilakukannya First
Experiments in Animation oleh Shimokawa Bokoten, Koichi Junichi, dan
Kitayama Seitaro pada tahun 1913. Kemudian diikuti film pendek (hanya
berdurasi sekitar 5 menit) karya Oten Shimokawa yang berjudul Imokawa Mukuzo Genkanban no Maki tahun 1917. Pada saat itu Oten membutuhkan waktu 6 bulan hanya untuk mengerjakan animasi sepanjang 5 menit tersebut dan masih berupa “film bisu”. Karya Oten itu kemudian disusul dengan anime berjudul Saru Kani Kassen dan Momotaro hasil karya Seitaro Kitayama pada tahun 1918, yang dibuat untuk pihak movie company Nihon Katsudo Shashin (Nikatsu). Pada tahun 1918 Seitaro kembali membuat anime dengan judul Taro no Banpei. Tetapi semua catatan tentang anime tersebut dikatakan hilang akibat gempa bumi di Tokyo pada tahun 1923.
Selain Oten dan Seitaro, ada juga beberapa animator lain seperti, Junichi Kouichi (Hanahekonai Meitou no Maki, 1917), Sanae Yamamoto
(Obasuteyama, 1924), Noburo Ofuji (Saiyuki, 1926 dan Urashima Taro, 1928), Yasushi Murata (Dobutsu Olympic Taikai, 1928). Pada saat itu, muncul pula anime pertama yang mempunyai sekuel yaitu Sarugashima (1930) dan kelanjutannya yaitu Kaizoku-bune (1931).
Pada tahun 1927, Amerika Serikat telah berhasil membuat animasi dengan menggunakan suara (pada saat itu hanya menggunakan background music). Jepang kemudian mengikuti langkah itu dan anime pertama dengan
menggunakan suara musik adalah Kujira (1927) karya Noburo Ofuji. Sedangkan anime pertama yang “berbicara” adalah karya Ofuji yang berjudul Kuro Nyago(1930) dan berdurasi 90 detik. Salah satu anime yang tercatat sebelum meletus Perang Dunia II dan merupakan anime pertama dengan menggunakan optic track (seperti yang digunakan pada masa sekarang) adalah Chikara To Onna No Yononaka (1932) karya Kenzo Masaoka.
Pada tahun 1943 Masaoka bersama dengan seorang muridnya, Senoo Kosei, mereka membuat kurang lebih lima episode anime berjudul Momotaro no Umiwashi (Momotaro, the Sea Eagle). Anime yang ditayangkan ini merupakan anime Jepang pertama dengan durasi lebih dari 30 menit (short animated feature film).
Mendekati akhir dari Perang Pasifik, yaitu pada bulan April 1945, Senoo telah membuat dan menampilkan kurang lebih sembilan episode anime yang merupakan karya besarnya, Momotaro: Umi no Shinpei (Momotaro: Devine Soldier of the Sea). Anime ini merupakan anime Jepang pertama yang berdurasi panjang, yaitu sekitar 72 menit (animated feature film). Keduanya adalah anime propaganda yang mengadaptasi dari cerita legenda terkenal Jepang, Momotaro, dan merupakan salah satu dari anime terpopuler pada masa tersebut.
Noburo Ofuji juga pernah mencoba membuat anime yang berwarna. Pada saat itu ia membuat anime Ogon no Hana (1930) dengan hanya 2 warna, tetapi tidak pernah dirilis. Anime pertama yang dirilis dengan warna baru
muncul lama setelah itu yaitu Boku no Yakyu (1948) karya Megumi Asano.
Setelah Perang Dunia II, industri anime dan manga bangkit kembali
berkat Osamu Tezuka. Orang yang dijuluki “God of Manga” ini pada saat itu baru berusia sekitar 20 tahun dan karyanya adalah Shintakarajima yang muncul pada tahun 1947. Hanya dalam beberapa tahun saja, Tezuka kemudian menjadi sangat terkenal.
Ketika habis masa kontraknya dengan Toei pada tahun 1962, Tezuka
kemudian mendirikan Osamu Tezuka Production Animation Departement, yang kemudian disebut dengan Mushi Productions dengan produksi pertamanya film pendek berjudul Aru Machi Kado no Monogatari (1962). Produk Mushi Production yang terkenal adalah Tetsuwan Atom. Namun Tetsuwan Atom bukanlah animasi televisi buatan lokal pertama yang ditayangkan. Tahun 1960 adalah pertama kalinya ditayangkan anime TV di Jepang, yaitu Mittsu no Hanashi (Tree Tales) – The Third Blood yang merupakan anime TV Special.
Dilanjutkan dengan penayangan serial anime TV produksi Otogi-Pro berjudul Instant Story pada tanggal 1 Mei 1961 di stasiun televisi Fuji (Fuji
Terebi). Walaupun hanya berdurasi 3 menit serial ini cukup mendapat
popularitas serta bertahan hingga tahun 1962. Penayangan anime tersebut merupakan merupakan tanda bagi kelahiran anime TV Series produksi Jepang yang pertama. Meski demikian, Tetsuwan Atom adalah anime pertama yang ditayangkan secara reguler. Acara ini sangat terkenal bahkan sampai ke beberapa negara di luar Jepang (di Amerika Tetsuwan Atom dikenal sebagai Astro Boy).
B. Protes Anime
Seperti yang kita ketahui, akhir-akhir ini di Indonesia sedang terjadi booming film-film kartun Jepang (anime) dan film-film superhero Jepang (tokusatsu). Hal ini bisa dibuktikan dengan mudahnya seseorang untuk bisa mendapatkan CD anime dan tokusatsu di Indonesia. Bahkan ada beberapa judul anime dan tokusatsu yang bisa didapatkan dengan mudah di tempat-tempat penjualan CD grosiran seperti Glodok dengan harga per keping CD-nya hanya Rp 4.000 – Rp 5000,-. Berbagai CD seperti Crayon Shinchan, Kamen Rider, Kuuga, dan judul-judul lainnya bisa didapatkan dengan mudah. Booming film kartun dan film superhero Jepang ini tentunya mengingatkan kita pada tahun 1980 -an di mana juga terjadi booming film kartun dan film superhero Jepang. Pada waktu itu, nyaris semua anak di Indonesia tahu tentang film kartun Voltes V dan film superhero Goggle V yang memang sempat menjadi fenomena di akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an.
Orang-orang sekarang menganggap bahwa film-film kartun buatan Jepang itu tidak mendidik dan justru bersifat merusak. Kenapa pendapat seperti itu tidak muncul waktu tahun 1980-an ketika booming anime juga sempat terjadi? Kalau orang-orang punya pendapat anime tidak mendidik, itu mungkin karena generalisasi yang timbul akibat film-film kartun seperti Crayon Shinchan.
Kita semua tahu bahwa Shinchan telah menjadi fenomena sejak kali pertama hadir di Indonesia. Kehadiran seorang anak kecil berusia lima tahun yang masih duduk di bangku TK namun mempunyai sifat layaknya seorang pria dewasa itu benar-benar membawa perubahan di Indonesia. Sifatnya yang kurang ajar menurut para orang tua ternyata disukai oleh anak-anak dan remaja-remaja.
Tetapi apakah kita bisa memberikan penilaian yang sama terhadap seluruh film kartun Jepang yang masuk ke Indonesia? Tidak karena tidak semua film kartun itu tidak mendidik. Ada beberapa kartun yang justru memberikan pendidikan kepada anak-anak meskipun mungkin agak tersamar. Doraemon, misalnya. Karakter-karakter di dalam Doraemon tidaklah sempurna seperti Nobita yang cengeng, Giant yang kasar dan suka berkelahi, Suneo yang suka menyombong dan Doraemon yang kadang-kadang terlalu baik hati.
Karakter-karakter itu dibuat sesuai dengan sifat-sifat manusia pada umumnya dan sifat-sifat orang Jepang khususnya. Sifat-sifat yang dimiliki oleh karakter-karakter yang terdapat dalam Doraemon itu benar-benar universal sehingga aman untuk dinikmati oleh anak-anak di Indonesia. Ada saja orang yang punya sifat seperti itu di mana saja di dunia ini.
Memang ada beberapa judul anime yang sadis yang hanya cocok ditonton oleh anak-anak 15 tahun ke atas, bahkan 17 tahun ke atas. Tetapi hal seperti itu tentunya juga tidak bisa dijadikan patokan untuk melakukan generalisasi bahwa kartun Jepang itu tidak mendidik. Apakah kita bisa membuat sebuah generalisasi hanya berdasarkan beberapa judul anime saja? Tentu saja tidak.
Mungkin banyak orang yang berpendapat bahwa film kartun Amerika lebih baik dari pada anime, khususnya para orang tua, tetapi kita tidak bisa langsung menyatakan bahwa film kartun Amerika itu lebih bagus daripada film kartun Jepang tanpa pertimbangan yang berarti. Apakah Anda pernah menyaksikan film kartun Amerika dan Erope seperti Tom and Jerry dan Avatar The Legend of Aang? Apakah Anda pernah memikirkan bahwa banyak sekali adegan yang tidak masuk akal di dalam film itu?
Ada adegan Tom yang mencoba untuk terbang seperti burung dengan menggunakan sayap buatan. Bukankah adegan semacam itu bisa saja ditangkap oleh anak-anak yang polos yang kemudian ingin mencoba melakukannya? Anak-anak akan berpendapat bahwa mereka juga bisa terbang seandainya mereka bisa membuat sayap seperti yang dibuat Tom. Apakah menurut Anda hal itu tidak membahayakan? Meskipun sudah menonton didampingi orang tua, bisa saja anak-anak mencoba melakukannya di saat mereka kebetulan lepas dari pengawasan orang tua. Semua hal bisa saja terjadi, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun.
Kita tidak boleh memvonis sesuatu terlalu cepat. Kita tentunya tidak bisa membandingkan film kartun Amerika dengan anime karena keduanya memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Anime lebih didasari oleh budaya Timur (dan hal itu tampak dalam beberapa judul anime) dan film kartun Amerika lebih didasari oleh budaya Barat (seperti kekerasan dan sebagainya ). Keduanya tentunya tidak sejalan.
Baik buruknya sesuatu itu relatif. Mungkin saja Anda berpendapat bahwa anime itu tidak mendidik dan sadis, tapi di lain pihak ada orang lain yang berpendapat bahwa anime itu justru lebih mendidik karena kerealistisannya. Semua itu kembali kepada diri kita sendiri sebagai seorang penonton. Tidak bisa dipungkiri bahwa anime memiliki sisi-sisi negatif namun kita bisa mencoba untuk melihat sisi-sisi positif yang ada di dalamnya.
C. Jepang Menggeser Amerika
Kreatifitas adalah satu hal yang mudah diucapkan namun relatif rumit untuk dibentuk atau dibangun. Apalagi slogan “Dengan Kesenian Kita Tingkatkan Kreatifitas Remaja” misalnya, adalah slogan yang benar-benar memerlukan kesungguhan untuk mewujudkannya. Kesungguhan yang dimaksud adalah keseriusan dalam pemikiran, serta daya dan upaya yang kuat tentunya, sehingga kalimat romantis atau heroik saja, belum cukup untuk mewujudkan cita-cita itu.
Membangun kreatifitas masyarakat melalui kesenian, tidak cukup dengan talenta saja, jadi  harus ada mekanisme manajerial di dalamnya. Secara praktis kita lihat Jepang pada saat ini, mereka telah mampu mengeser kedudukan Hollywood (Amerika dan Eropa) untuk  film kartun, animasi, komik dan buku bacaan. Setelah sekian lama buku bacaan, komik serta film kartun dan animasi Amerika dan Eropa merajai pasaran dunia.
Pada tahun 80-an hampir seluruh anak-anak dan remaja di dunia tentu mengenal sosok Tintin detectif cerdik dengan anjing kecilnya yang lucu, mereka tentunya juga mengenal sosok Micky & Mouse yang lucu dan menggelikan. Dimulai dengan Film Animasi The Lion King, kemudian dilanjudkan dengan Petualangan Mulan yang gagah berani, nilai-nilai Asia mulai merambah Hollywood. Untuk diketahui ternyata The Lion King adalah cerita khayalan dari kartunis Jepang yang kemudian dikembangkan oleh industri film Hollywood.
Pada era 70-an, anak-anak dan remaja di dunia mengenal sosok Tarzan atau si Kaki Besar Geronimo dari suku Apache dalam cerita fiksi karya Karl May.
Sekarang ini tidak banyak lagi anak-anak atau remaja yang menyimak Micky & Mouse dan sejenisnya. Yang terlihat dengan jelas, komik, film kartun dan animasi telah dikuasai oleh produk Jepang. Hanya beberapa komik atau bacaan barat yang masih diminati oleh remaja dan anak di Indonesia seperti Harry Potter dan Lord Of The Ring . Artinya terjadi arus perubahan berpikir dari Barat ke Asia (Jepang).
Komik dan buku bacaan, film kartun atau animasi, memang  salah satu bentuk dari produk berkesenian, hal ini tentunya adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Namun efek lain yang juga harus dicermati pada era informasi seperti sekarang ini, negara yang menguasai arus informasi pada sektor komik, buku bacaan, film kartun dan animasi tentu memiliki sisi keunggulan tersendiri dalam persaingan lainnya.
Apakah keberhasilan Jepang merebut kiblat itu hanya berdasar talenta atau bakat dari komikus, kartunis atau animator semata? Lalu apakah pencapaian itu dapat diraih dalam waktu yang  singkat? Jika kita mencoba telusuri apa yang telah diraih oleh Jepang, adalah buah dari usaha yang sungguh-sungguh dalam waktu yang relatif panjang.
Pada tahun 80-an dalam sebuah kolom laporan perjalanan seorang kartunis Indonesia, merasa terheran-heran ketika mereka diundang ke Jepang. Mereka diundang dalam suatu acara berkaitan dengan profesi mereka sebagai kartunis. Ternyata masyarakat Jepang mengelu-elukan kartunis yang hadir dalam  acara itu. Artinya ketika itu masyarakat Jepang telah sampai pada titik dimana profesi sebagai kartunis demikian mereka hormati, sehingga membentuk sikap masyarakat yang menghargai profesi kartunis. Pendek kata keberhasilan Jepang pada saat ini merupakan  hasil dari keseriusan mereka membina sistem dan mekanisme kesenian, yang diimbuhi oleh kebanggaan terhadap karya bangsa sendiri.
D. Komik Matahari Terbit dan Duduk Perkaranya
Sebelum menukik ke pokok masalah, diingatkan kembali bahwa komik dan kartun Jepang itu beragam spesifikasinya. Berdasarkan pangsa pasarnya, ada shounen, yakni anime atau manga bergenre (gaya: meliputi gambar, bahasa, penokohan) serta beralur cerita yang disesuaikan dengan selera cowok. Contohnya, Yuyu Hakusho karya Yoshihiro Togashi, Naruto karya Masashi Kishimoto, Tsubasa Reservoir Chronicle karya CLAMP, Air Gear karya Oh! Great, Dragon Ball karya Akira Toriyama, I’LL  karya Hiroyuki Asada. Ada pula shoujou, yang genre dan alur ceritanya disesuaikan dengan selera cewek, seperti Fruits Basket karya Natsuki Takaya, Penguin Revolution karya Sakura Tsukuba, Unrequited Venus karya Yuki Nakaji dan Heaven!! karya Shizuru Seino.
Klasifikasi lainnya, shoujou-shounen yang merupakan perpaduan kedua jenis anime dan kartun. Contoh, genrenya bisa saja shounen, tapi alur ceritanya shoujou, atau sebaliknya. Jadi, penikmatnya tak terbatas pada cewek atau cowok. Masuk kategori ini, misalnya, komik dan animasi Rurouni Kenshin, Evangelion, atau PatLabor.
Standar peruntukan
Anime dan manga juga dibedakan menurut tema. Mulai mecha (robot), fighting (pertarungan), adventure (petualangan), romance (percintaan), sampai dengan hentai (seks). Meski begitu dalam praktiknya, pada beberapa karya klasifikasi berdasarkan tema ini kerap tidak berlaku karena tumpang tindihnya unsur dan ide.
Misalnya, meski ide aslinya mecha, tapi mengandung juga unsur romance, adventure bahkan hentai. Berbagai klasifikasi tadi masih ditambah dengan batasan umur, yang bisa dilihat di awal pemutaran film. Bill in Love, contohnya, digolongkan untuk tontonan 21 tahun ke atas (biasa ditulis 21+), City Hunter (18+), Evangelion (13+), PatLabor (9+) hingga Crayon Sinchan (everyone).
Lazimnya, ketiga klasifikasi itu ada dalam setiap anime sehingga tercipta perpotongan klasifikasi satu dengan lainnya. Misal, PatLabor adalah film kartun bersifat shoujou-shounen, bertema mecha, dan dikategorikan untuk umur 9+. Sedangkan Bill in Love bersifat shounen, bertema hentai, dan dikategorikan untuk 21+.
Melihat kejelasan fakta tadi, mestinya penayangan animasi Jepang tertentu di televisi perlu mempertimbangkan beberapa hal. Langkah yang seharusnya dilakukan adalah menentukan jam tayang yang pas dan menampilkan sasaran peruntukan sebelum memutar film itu. Bila dirasa masih kurang sesuai dengan keadaan masyarakat kita, standar sasaran usia penontonnya bisa dinaikkan. Crayon Sinchan misalnya, golongan umurnya bisa ditingkatkan menjadi 15+.
Di sisi lain, batasan yang jelas juga harus dibuat untuk menerangkan siapa masuk kategori anak-anak. Apakah mereka adalah semua yang masih bergantung pada orang tua, ataukah ada batasan umur tertentu. Misalnya, umur anak-anak diklasifikasikan 6 – 13 tahun, sedangkan remaja 14 – 17 tahun. Nah, batasan inilah yang dikaitkan dengan keterangan peruntukan komik dan film kartun buatan Jepang itu. Akan tampak aneh jika anak usia enam tahun menonton Evangelion atau seri Gundam.
Kalau tontonan sudah sesuai dengan umur, tetapi si anak masih tidak memahami isi animasi, boleh jadi lantaran alur ceritanya yang berat dan berbobot (PatLabor, X-Clamp). Tak jarang ada juga orang tua yang tidak bisa dengan mudah menangkap alur ceritanya. Itu antara lain karena sebagian besar film kartun Jepang memang memasukkan unsur budaya yang jarang ditemui di Indonesia, seperti mandi bersama, ritual mengusir setan di kuil, atau melihat bunga sakura.
Ada sinyalemen, anime dan manga Jepang menjadi populer konon lantaran film dan merchandise alias barang-barang suvenirnya lebih dulu masuk. Namun dari amatan, justru komik yang mula-mula merebut hati para penggemar, baru kemudian versi filmnya. Fenomena ini kemudian ditangkap dunia bisnis untuk ikut memasarkan merchandise.
Jadi, suksesnya film kartun dan juga komik Jepang memang murni karena disukai pembaca dan penontonnya. Hal ini berkebalikan dengan pembuat film seperti Walt Disney yang selalu mengawali langkahnya dengan iklan bombastis, cerita sekuel, penjualan pernak-pernik, baru kemudian menerbitkan komik. Contohnya, Aladin, Lion King, Mulan, Little Mermaid, Pinnochio, dan masih banyak lagi.
Teknik gambar komik dan animasi Jepang pun amat bervariasi. Salah satu alirannya, gambar Sinchan yang meletat-meletot. Konon, itu memang sengaja dibuat untuk menunjukkan bahwa penyampaian pesan tak perlu menggunakan gambar yang rumit.
Teknik itu tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan komik Barat, misalnya Walt Disney. Soalnya, keduanya merupakan dua jenis komik dan animasi yang berbeda peruntukan dan tujuan pembuatannya. Mulai kelas, ilustrasi, hingga alur cerita. Walt Disney mengutamakan keindahan, sedangkan Crayon lebih menonjolkan kekonyolan gambar.
Tokoh komik dan animasi Jepang sebagian besar manusia, minimal mendekati wujud manusia. Kobo Chan misalnya, sarat dengan unsur pendidikan, karena secara detail dan sederhana menampilkan kehidupan keseharian sebuah keluarga. Dari tema itu, muncul kisah yang logis, masuk akal. Secara imajinasi mudah dibayangkan, dan mungkin terjadi dalam keseharian.
Film kartun Jepang memang menampilkan kewajaran, seperti Saint Seiya. Memang tokoh utamanya digambarkan bisa berdarah-darah setelah dipukul lawannya. Atau juga Gundam Wings, Gundam Seed Destiny dan Macross yang banyak mempertontonkan kematian, sesuatu yang masuk akal.
Komik dan film kartun Jepang juga sering dituduh mengumbar adegan kekerasan. Padahal, banyak juga film Eropa atau Amerika seperti Woody Woodpecker, Animaniacs, Looney Tunes, Tiny Tunes, Tazmania, dan lain-lain yang sering menampilkan adegan sadis seperti memotong, menusuk, menginjak-injak, mencaci musuh, dan sebagainya, yang juga mengundang perilaku kekerasan.
Dalam anime Jepang, pembaca atau penonton sering menemukan idola yang tidak mereka dapati dalam kenyataan. Mereka juga bisa melihat ketidakadilan, kepengecutan tokoh utama, kesetiaan terhadap ideologi, bahkan sampai sisi baik tokoh yang jahat. Mereka juga belajar bahwa hidup ini penuh intrik dan perbedaan.
Kelebihan lain ditampilkan PatLabor. Film ini menampilkan salah satu kualitas film Jepang yang ceritanya semi-realistis, yang mengisahkan kemajuan teknologi robot. Walaupun cerita ini hanya khayalan si pengarang, namun mampu mendorong lahirnya kreativitas anak akan masa depan. Imajinasi di sini mengarah pada kemungkinan yang terjadi di masa depan, bukan imajinasi yang kekanak-kanakan.
Sesungguhnya, cukup banyak manfaat film kartun dan komik buatan Jepang. Meskipun adanya sejumlah film kartun yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat kita, tentu tidak terbantah.
Salah satu jalan untuk mengatasinya adalah membuka dialog orang tua – anak tentang sebuah film kartun dan komik buatan mana pun. Semakin banyak argumen dan detail yang dikemukakan sang anak, semakin menunjukkan kedewasaan berpikirnya. Jangan biarkan anak-anak terus menjadi anak-anak, tapi persiapkanlah kedewasaan mereka dalam menghadapi kenyataan.
Ada baiknya jika kita tidak hanya memandang sisi buruk manga dan anime, karena tidak semua judul manga dan anime mengandung kekerasan. Bahkan, beberapa diantaranya berisi pendidikan (pengetahuan umum) walau hanya samar.
Manga dan anime sudah dikelompokkan berdasarkan beberapa klasifikasi. Jika semua pecinta komik dan film kartun Jepang di Indonesia menikmatinya berdasarkan klasifikasi yang telah ditentukan, maka kemungkinan terburuk dari pengaruh manga dan anime­ tidak akan terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar